Taman Nasional Baluran

Taman Nasional Baluran

Kamis, 16 September 2010

Antara Tekad, Telat dan Emoh


Menyaksikan “Sang Pencerah” karya Hanung Bramantyo mau tak mau saya dibuat untuk memikirkan beberapa hal. Baik dari segi teknis film maupun isi dari film itu sendiri. Tulisan ini merupakan racauan atau pun igauan saya yang merupakan seorang penikmat film akan kelebihan dan kekurangan film ini.
Bagian awal film menampilkan reka ulang gambaran (lay-out) Mesjid Gede Kauman pada akhir abad 19 dengan bantuan Computer Graphic (CG). Penggunaan CG ini mungkin sedikit banyak membantu imajinasi penonton akan (perkiraan) gambaran Mesjid Gede tersebut. Namun yang saya sayangkan adalah penggunaannya yang agak berlebihan. Beberapa kali gambar hasil rekaan CG ini ditampilkan dalam penceritaan. Penampilan berulang ini saya rasa cukup mengganggu karena kualitas gambarnya, yang merupakan blur dari kualitas lukisan atau pun foto, cukup merusak perhatian saya yang harus melihat transisi dari gambar bergerak rail film menuju sebuah still image tersebut. Selain itu saya juga merasa gambar tersebut tidak terlalu signifikan untuk harus ditampilkan tiap akan memulai scene Mesjid Gede.
Selain itu, tampaknya juga belum ada perhatian khusus akan detail fisik. Ketika bangunan langgar (yang telah diwariskan oleh ayahnya Ahmad Dahlan) diruntuhkan, kayu-kayu penopang genteng dan bangunan utama terlihat begitu ‘segar’. Bukannya lebih baik diatur sedemikian rupa oleh para staf visual effect agar bangunan tersebut memang benar terlihat sebagai sebuah bangunan renta yang ‘layak’ hadir. Bukan hanya ditampilkan melalui keremangan cahaya lampu cempor dan obor saja.
Bahasa yang digunakan oleh Zaskia dan Dennis juga agaknya luput dari perhatian dan terkesan dibiarkan, entah atas alasan apa. Zaskia, berperan sebagai Nyai Ahmad Dahlan, bukankah digambarkan sebagai seorang yang tumbuh besar di sebuah lingkungan Jawa. Apakah mungkin bagi seseorang yang telah menghabiskan sekian waktu dalam hidupnya (baca: seumur hidup) di pemukiman Jawa tidak mampu berbahasa Jawa, bahkan logatnya sekali pun. Bahasa yang digunakan oleh Zaskia terkesan sangat ‘Indonesia’ sekali.
Saya juga merasa karakterisasi Nyai Ahmad Dahlan oleh Zaskia sangat tegar, bahkan maskulin. Saya tidak bermaksud bahwa tidak mungkin ada kecenderungan seperti itu oleh Nyai Ahmad Dahlan yang sebenarnya. Hanya saja saya tidak merasa ada dasar latar belakang yang tepat dalam film tersebut bagi Zascia untuk menghadirkan sosok tersebut dengan cara seperti itu.
Lain halnya dengan Dennis Adhiswara. Penampilannya pada film Ada Apa Dengan Cinta sebagai joker/jest memang memikat dan menghibur, pun dalam beberapa film lain. Namun harapan untuk menghadirkan karakter yang menghibur bukan menjadi alasan adanya anakronisme. Ketidaksesuaian yang sangat mengganggu saya adalah penggunaan kata ‘telat’ oleh Dennis ketika dia diminta berkumpul oleh Ahmad Dahlan. Dengan pengetahuan saya yang terbatas, saya bertanya-tanya akan kemungkinan penciptaan istilah ‘telat’. Bukankah istilah itu baru dikenal sekitar tahun 1980an atau 1990an? Bukan pada 1880-90an.
Satu karakter yang mempesona saya adalah seorang gadis kecil yang ikut pengajian di Langgar Kidoel. Karakter yang bernama Zaenab (kalau tidak salah) ini yang membuat saya merasakan atmosfer, atau bisa dibilang keaslian, dari Jawa yang coba dihadirkan Hanung. Mungkin hanya satu kata yang dia ucapkan, “emoh”. Namun satu kata itu yang membius saya. Kepolosan nada seorang anak kecil yang hadir dengan dialek khas Jawa (Tengah)nya ini merupakan ‘klimaks’ yang saya dapatkan dalam film tersebut. Ada unsur pemberontakan/penentangan dalam kata yang ditujukan kepada ayahnya itu. Perkembangan akan persamaan hak juga tampil dengan ikutnya gadis kecil tersebut dalam pengajian.
Namun beberapa hal yang saya ungkapkan di atas tidak menyurutkan rasa hormat saya kepada Hanung yang mampu memadatkan kisah hidup seorang Ahmad Dahlan yang begitu kompleks, penuh dengan pemikiran, menjadi sebuah alur yang dapat dinikmati oleh berbagai umur dan latar belakang. Secara keseluruhan, film ini menunjukkan kelihaiannya sebagai seorang sutradara dan penulis cerita yang piawai. Film yang menceritakan tekad perubahan, sekaligus tekad akan perubahan itu sendiri.